Home / Riau /
Megakorupsi Kebun Sawit Duta Palma di Inhu, Hakim Pertanyakan Kerugian Perekonomian Negara Capai Rp 80 Triliun
Sidang dugaan korupsi alih fungsi lahan Kabupaten Inhu, Riau di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: Net
RiauAkses.com - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi terkait alih fungsi lahan di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau, dengan terdakwa Bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi alias Apeng dan mantan Bupati Inhu, Raja Thamsir Rachman pada Senin, (9/1/2023).
Dengan agenda sidang pemeriksaan ahli dari tim Jaksa Penuntut Umum (JPU). Salah satu ahli yang dihadirkan yaitu, Ahli Hukum Pidana, Agus Surono. Dalam kesempatan itu, Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri mengonfirmasi Agus Surono soal perhitungan kerugian perekonomian negara di kasus ini.
Hakim Fahzal mulanya mempertanyakan tentang kerugian negara yang diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016. Dalam putusan MK disebutkan bahwa kerugian negara haruslah berdasarkan penghitungan yang nyata dan pasti. Namun, ia mengonfirmasi bagaiman dengan penghitungan perekonomian negara.
"Bahwa ada putusan mahkamah konstitusi tentang kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti. Berarti memberikan alur, penjelasan kepada penegak hukum bahwasanya kerugian negara itu harus pasti, jelas dan pasti. Sekarang kaitannya, putusan mahkamah konstitusi itu, kaitannya dengan perekonomian negara, apakah termasuk perekonomian negara juga yang dijelaskan putusan MK?," Tanya Hakim Fahzal kepada Agus di ruang sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (9/1/2023).
Menjawab pertanyaan Hakim, Fahzal, Agus Surono menegaskan bahwa penghitungan kerugian perekonomian negara juga harus nyata dan pasti. Pnghitungan kerugian perekonomian negara dalam perkara tindak pidana korupsi tidak boleh mengada-ada. Oleh karenanya, harus ada metode penghitungannya tersendiri.
"Tentu kerugian perekonomian negara pun juga harus dimaknai adanya satu kerugian yang sifatnya nyata dan pasti. Bagaimana metodenya saya tidak tahu menghitungnya. Harus ada," kata Agus Surono kepada majelis hakim.
"Jadi, tidak mungkin kalau tidak nyata dan tidak pasti, maka ini kan bertentangan dengan prinsip asas kepastian hukum juga bahwa harus ada kerugian yang sifatnya nyata dan pasti," imbuhnya.
Menurut Agus, pandanganya tersebut mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016. Di mana, putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mencabut frasa 'dapat' dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Putusan MK ini menafsirkan bahwa frasa 'dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara' dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).
"Memang di dalam putusan MK, yang berkaitan dengan tafsir kata 'dapat' itu dimohonkan hanya berkaitan dengan keuangan negara saja," jelas Agus.
Dalam persidangan tersebut, Agus juga menjelaskan bahwa konteks perbuatan melawan hukum haruslah ada niat perbuatan melakukan pidana atau mens rea. Sehingga, kata Agus, jelas bahwa seseorang yang melakukan perbuatan pidana diawali dengan niat jahat.
"Jadi di dalam konteks bahwa suatu perbuatan ini masuk dalam kualifikasi pidana ya saya belum masuk ke korupsi ya, pidana itu kan pasti harus ada mens rea ataupun ada actus reus. Actus reus itu itu sifatnya harus sadar," beber Agus.
"Maksudnya adalah bahwa tujuan dari suatu ketentuan itu telah memang dilanggar oleh subjek hukum pidana nah ketika pelanggaran itu kemudian masuk atau memenuhi unsur yang tadi saya sampaikan dua hal itu maka masuk ke dalam kualifikasi ranah pidana jadi ada mens reanya," sambungnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum terdakwa Surya Darmadi, Juniver Girsang juga sependapat dengan pandangan Agus Surono bahwa penghitungan kerugian perekonomian negara di kasus kliennya sebenarnya harus nyata dan jelas. Namun, menurut Juniver, perhitungan perekonomian negara di kasus Surya Darmadi belum nyata dan jelas.
"Ahli pidana menjelaskan untuk menentukan adanya kerugian negara harus kongkrit dan nyata sesuai dengan keputusan MK Nomor 25 Tahun 2016, jelas, tidak boleh di luar daripada itu, kalau tidak kongkrit dan tidak nyata itu tidak boleh dikatakan kerugian negara," kata Juniver di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Tak hanya itu, Juniver juga sepakat dengan pandangan Agus Surono bahwa perbuatan pidana haruslah didasarkan pada mens rea. Sebab, jika tidak ada mens reanya, maka seseorang itu tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Hal itulah, yang terjadi pada kasus Surya Darmadi.
"Nah oleh karenanya, suatu perbuatan yang tidak ada mens rea, dan kemudian tidak perbuatannya, itu tidak boleh dikatakan sebagai sesuatu yang bisa dimintai pertanggungjawaban atau tindak pidana," ungkapnya.
Untuk diketahui, Bos PT Duta Palma, Surya Darmadi alias Apeng didakwa oleh tim jaksa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp4.798.706.951.640 (Rp4 triliun) dan 7.885.857 dolar AS serta perekonomian negara sebesar Rp73.920.690.300.000 (Rp73 triliun).
Kerugian keuangan dan perekonomian negara itu akibat dugaan korupsi dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Apeng didakwa melakukan korupsi bersama-sama dengan mantan Bupati Indragiri Hulu, Raja Thamsir Rachman.
Jaksa membeberkan, Surya Darmadi diduga telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp7.593.068.204.327 (Rp7 triliun) dan 7.885.857 dolar AS sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penghitungan kerugian negara itu merupakan Laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor: PE.03/SR/657/D5/01/2022 tanggal 25 Agustus 2022.
Sedangkan kerugian perekonomian negara akibat korupsi Surya Darmadi, sambung jaksa, mengacu pada Laporan Lembaga Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) tanggal 24 Agustus 2022.
Tak hanya itu, Surya Darmadi juga didakwa telah melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Surya Darmadi didakwa mencuci uang hasil korupsi lahan sawit ke sejumlah aset maupun transfer ke berbagai pihak. (RE-01)
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
Pemko Pekanbaru Segera Finalkan Sanksi Tipiring Bagi Pembuang Sampah Sembarangan
RiauAkses.com, Pekanbaru - Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru, akan menggelar rapat finalisasiSkenario 'All Jokowi's Men' Bakal Terjadi di Pilpres 2024, Kelompok Ini yang Paling Diuntungkan?
RiauAkses.com, Jakarta - Tak kunjung jelasnya poros koalisi baru pengusung calon presiden dalamProvinsi Riau Inflasi Tertinggi, Mendagri Tito Perintahkan Gubernur Syamsuar Lakukan Cuma 1 Hal Ini
RiauAkses.com, Pekanbaru - Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per 1 Januari 2023, pada bulanKejati Riau Hadiri Rapat Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) X Riau
RiauAkses.com, Pekanbaru - Pemerintah menggelar Rapat Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Pekan OlahragaSinyal Kuat Gubri Syamsuar Rombak Kabinet, Inilah Daftar Lengkap 36 Pejabat Riau yang Bakal Dievaluasi
RiauAkses.com, Pekanbaru - Sebanyak 36 pejabat tinggi pratama (eselon II) di lingkungan Pemprov







Komentar Via Facebook :