Home / Ekonomi /
Ketika Kelapa Meranti Dijual Mahal di Malaysia, Petani Tersenyum dan Ibu di Dapur Menjerit

Kelapa asal Kepulauan Meranti siap ekspor ke Malaysia dan diperiksa oleh Balai Karantina. Foto: SM News
RiauAkses.com, Kepulauan Meranti - Di tengah gemuruh ombak Selat Malaka yang membelai bibir pantai di Kepulauan Meranti, terselip suara lirih dari dapur-dapur rumah tangga. Suara para ibu yang menjerit dalam diam, bukan karena musibah besar, tapi karena sesuatu yang sangat dekat dengan mereka yakni santan.
Di Kota Selatpanjang, ibu kota kabupaten yang dikenal sebagai kota sagu, harga santan melonjak bak ombak musim utara. Kini, untuk mendapatkan satu kilogram santan, para ibu harus merogoh kocek hingga Rp35 ribu. Padahal, belum lama ini, harga itu masih setengahnya—sekitar Rp18 hingga Rp20 ribu.
“Tak wajar rasanya,” keluh Ita, seorang ibu rumah tangga yang tengah menimbang-nimbang isi kantongnya di pasar.
“Baru kali ini saya lihat harga santan sampai segini. Padahal biasanya, kami beli cukup dengan uang belanja harian. Sekarang, harus pilih beli santan atau kurangi bahan lain," ujar lagi.
Kenaikan ini bukan tanpa sebab. Para pedagang mengaitkan lonjakan harga dengan tingginya ekspor kelapa bulat ke Malaysia. Kelapa sebagai komoditas unggulan di Kepulauan Meranti selain sagu—yang sebelumnya banyak tersedia untuk kebutuhan lokal, kini lebih banyak mengalir ke luar negeri demi mengejar nilai jual tinggi. Akibatnya, harga turunan seperti santan pun ikut melambung.
Bagi Ita dan ibu-ibu lain di dapur sederhana mereka, santan bukan sekadar bahan masak. Ia adalah ruh dalam rendang, nafas dalam gulai, dan sentuhan terakhir dalam bubur kampiun. Ketika harga santan melambung, maka cita rasa keluarga ikut terancam pudar.
Tak hanya rumah tangga, para pedagang makanan pun ikut terdampak dari kenaikan tersebut.
“Modal bertambah, untung makin tipis. Kalau naik terus, mau tak mau kami harus naikkan harga makanan,” ujar seorang pedagang makanan rumahan yang baru saja membeli santan di pasar.
Dalam kesunyian pasar, suara harapan pun menggema agar pemerintah hadir dan tidak tinggal diam. Agar kelapa—yang tumbuh subur di tanah Kepulauan Meranti—tidak menjadi komoditas yang justru menyusahkan warganya sendiri.
Karena bagi masyarakat di Kepulauan Meranti, santan bukan sekadar cairan putih dari kelapa. Ia adalah bagian dari identitas. Bagian dari rasa. Bagian dari perjuangan hidup di tanah perbatasan negeri.
Santan Mahal, Ketika Keberuntungan Petani Menjadi Beban Dapur Warga
Pagi itu, aroma rempah dan bunyi bising pasar modern Selatpanjang menyambut para ibu rumah tangga yang sibuk mencari bahan masakan. Namun di antara tumpukan sayuran segar dan ikan laut, satu keluhan senada terdengar di hampir setiap sudut yakni santan kini jadi barang mewah.
Di sudut lapak sederhana, seorang pedagang santan mengaduk-aduk cairan putih pekat dalam ember besar.
"Sekarang saya jual Rp30 ribu per kilo, ada juga yang jual sampai Rp35 ribu. Padahal biasanya cuma Rp20 ribu,” katanya sambil menakar santan ke dalam kantong plastik bening.
“Kelapa sekarang mahal, Bang. Satu buah saja udah Rp6 ribu. Dulu cuma Rp3 ribu," ujarnya lagi.
Kenaikan harga ini, katanya, bukan sekadar soal cuaca atau musim panen. Lebih dalam dari itu, ada arus besar dari seberang lautan yang mengguncang keseimbangan lokal. Kelapa Kepulauan Meranti kini banyak dikirim ke Malaysia—Negeri Jiran yang siap membayar lebih tinggi. Petani pun memilih mengekspor hasil panennya, karena harga dunia sedang menggoda.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Meranti, Marwan, tidak menampik kenyataan ini. Ia menyebut bahwa dalam dua bulan terakhir, harga kelapa di tingkat petani melesat dari Rp1.800 menjadi Rp5.600 per kilogram. Lonjakan ini berdampak langsung ke harga santan yang melonjak lebih dari 70 persen di pasar lokal.
“Satu sisi ini rezeki bagi petani kita. Tapi di sisi lain, masyarakat kita menjerit. Ini dilema,” ujar Marwan, lirih.
“Kami belum bisa membatasi ekspor. Ini masa keberuntungan petani, terutama setelah bertahun-tahun mereka berada dalam tekanan harga rendah," tuturnya.
Marwan juga mengungkapkan bahwa naiknya harga kelapa bukan hanya karena ekspor, tapi juga karena hasil panen yang terus menurun.
“Banyak pohon kelapa tua, kurang produktif. Ada sekitar 10 ribu hektare lahan yang perlu diremajakan. Ini pekerjaan rumah kita bersama,” jelasnya.
Kisah ini seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, petani kelapa tersenyum lebar dengan dompet yang menggelembung. Di sisi lain, para ibu di dapur berjuang menjaga rasa masakan tetap sama meski bahan baku terus menanjak.
Ketika keberuntungan petani dan kesulitan konsumen bertemu di titik yang sama, di situlah pemerintah ditantang untuk menyeimbangkan. Agar kelapa—komoditaskebanggaan Meranti—tidak menjadi pisau bermata dua di tengah masyarakatnya sendiri. (R-01)
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
Heboh Pengeroyokan di Depan Mapolsek Bukitraya Pekanbaru, Ini Fakta yang Terjadi
RiauAkses.com, Pekanbaru - Kasus pengeroyokan terhadap seorang wanita bernama Ramadhani Putri (31)Kemenag Riau: 3.538 Visa Jemaah Haji Telah Diterbitkan oleh Pemerintah Arab Saudi
RiauAkses.com, Pekanbaru - Perjalanan Ibadah Jemaah Haji tahun 1446 H / 2025 M sudah menunggu waktuBMKG Pekanbaru: Hujan Lebat Berpotensi Disertai Petir dan Angin Kencang
RiauAkses.com, Pekanbaru – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) StasiunBupati Rohil lmbau Gotong Royong dan Dirikan Posko Siaga Malaria
RiauAkses.com, Rokan Hilir - Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) mengambil langkah cepatTujuh Tahun Menanam Cahaya, Darul Fikri Wisuda 147 Santri Penghafal Al-Qur’an
RiauAkses.com, Kepulauan Meranti - Mentari pagi menyambut senyum bahagia dari wajah-wajah para
Komentar Via Facebook :