Home / Lingkungan /
Tajuk Redaksi
Kekalahan Beruntun Menteri Siti Nurbaya di PTUN Pekanbaru Direspon dengan Banding, Siapa Peduli Penyelamatan Hutan Konservasi di Riau?
Menteri LHK Dr Siti Nurbaya MSc dan Ketua Tim Hukum Yayasan Menara Dr (C) Surya Darma SAg, SH, MH. Foto: Net
RiauAkses.com, Pekanbaru - Dalam sebulan terakhir, palu majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru menyentak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dua putusan terkait gugatan terhadap pengrusakan serta pendudukan dua hutan konservasi di Riau ini mengagetkan Gedung Manggala Wanabakti, markas Menteri LHK Siti Nurbaya dan jajarannya berkantor.
Majelis hakim dalam perkara yang berbeda telah mengabulkan dua gugatan organisasi pro lingkungan yakni Yayasan Riau Madani dan Yayasan Menata Nusa Raya (Menara).
PTUN Pekanbaru pada 15 November lalu mengabulkan gugatan Yayasan Riau Madani yang menggugat Menteri LHK, Dirjen Gakkum Kementerian LHK serta Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
Perintah hakim dalam putusannya, mewajibkan Menteri LHK dkk menebang serta memusnahkan tanaman kelapa sawit seluas 1.200 hektar yang dibangun di atas hutan konservasi TNTN. Disebut dalam gugatannya, keberadaan kebun sawit itu dikelola oleh PT Inti Indosawit Subur (Asian Agri Grup). Namun, pihak PT Indosawit telah membantahnya.
Berselang sebulan kemudian, palu hakim kembali memukul KO Kementerian LHK. Pada 14 Desember lalu, majelis hakim PTUN Pekanbaru mengabulkan gugatan yang dilayangkan Yayasan Menara terkait keberadaan aktivitas perkebunan sawit, pabrik kelapa sawit (PKS) dan instalasi migas yang dikelola oleh PT Pertamina di hutan konservasi Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja.
Nafas putusan sama dengan gugatan terkait TNTN. Yakni mewajibkan Menteri LHK cs untuk menebang dan membongkar kebun sawit dan PKS yang dikelola PT Tengganau Makmur Lestari (TML) di SM Balai Raja, Bengkalis.
Selain itu, KLHK melalui Dirjen Gakkum dan Kepala BBKSDA Riau diperintahkan hakim melakukan tindakan hukum berupa penyegelan dan penyidikan terhadap aktivitas di luar fungsi hutan, termasuk fasilitas migas milik PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang terdapat di SM Balai Raja.
Pihak Kementerian LHK tak bersuara pasca-kekalahan dalam dua perkara terhadap institusinya. Konfirmasi media telah dilayangkan, namun urung dibalas.
Belakangan, KLHK menempuh upaya hukum banding atas kekalahannya di TNTN. Setali tiga uang, Kepala Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Genman S Hasibuan menegaskan akan mengambil langkah banding atas putusan berkaitan SM Balairaja.
Sebelumnya, Genman menyebut langkah banding diambil dengan terlebih dahulu berkoordinasi dan mendapat arahan dari pimpinannya.
Tentu saja, upaya hukum banding itu akan mengulur waktu eksekusi putusan majelis hakim PTUN Pekanbaru yang jelas-jelas pro lingkungan (pro natura) tersebut. Entah sampai kapan putusan inkrah. Bisa saja sampai kebun-kebun sawit di dua hutan konservasi itu dilakukan replanting (peremajaan tanaman).
Langkah banding Menteri LHK dalam putusan terkait TNTN menjadi sorotan publik. Bahkan, Greenpeace Indonesia sempat mempertanyakan keputusan KLHK itu melalui postingan di Instagram-nya.
"Lho, lho, lho. Gimana, gimana? Apakah Menteri LHK Siti Nurbaya masih memegang teguh tweet-nya dulu yang bilang pembangunan besar-besaran tidak boleh berhenti atas nama deforestasi. Tapi apakah demi lindungi pembangunan sampai harus merudak Taman Nasional juga" tulis Greenpeace Indonesia dalam potongan unggahannya bulan lalu.
Dua putusan hukum PTUN Pekanbaru itu sejatinya menjadi 'jalan tol' bagi KLHK untuk mempermudah tugasnya mengamankan sekaligus memulihkan hutan konservasi di Riau yang sudah hancur-hancuran bersalin rupa menjadi kebun sawit. Dan sebenarnya, tanpa digugat pun, semestinya hal itu telah menjadi tanggung jawab konstitusional pemerintah.
Eksekusi putusan hakim idealnya menjadi bukti otentik kampanye global pemerintah yang digembar-gemborkan selama ini berkomitmen dalam menahan laju perubahan iklim (climate change). Berkali-kali agenda konferensi tingkat tinggi tentang iklim dan hutan diikuti oleh KLHK untuk menyuarakan jargon itu.
Dengan tidak dilakukannya eksekusi putusan PTUN namun lebih menempuh upaya hukum banding, maka konsistensi KLHK dalam jargon Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 pun menjadi sebuah pertanyaan. Apalagi, Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang diikutkan dalam FOLU tersebut.
FOLU Net Sink 2030 merupakan jargon yang disebut oleh KLHK sebagai langkah sistematis yang dibangun dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca pada sektor kehutanan dan lahan.
Hal itu diklaim sebagai komitmen Indonesia untuk menahan laju peningkatan suhu global dan perubahan iklim sebagaimana dituangkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai tindak lanjut Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change.
Tapi, ketimbang panjang lebar berteori dan berkampanye, lebih baik KLHK melakukan saja apa yang ada di depan mata. Strategi sehebat apapun boleh-boleh saja, namun aksi nyata yang lebih utama.
Ketua Tim Hukum Yayasan Menara, Dr (C) Surya Darma SAg, SH, MH pun tak habis pikir dengan keputusan banding KLHK tersebut. Menurutnya, ketidaksediaan KLHK untuk tunduk pada putusan PTUN seakan memberi restu kalau hutan konservasi boleh diubah menjadi kebun kelapa sawit dan usaha lainnya.
"Upaya hukum banding akan mengulur waktu. Seakan menjadi sinyal dibolehkannya hutan konservasi menjadi kebun sawit. Ini sikap yang tak pro lingkungan," kata Surya Darma.
Ia juga menyebut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja kerap dijadikan tameng dan dalil oleh KLHK atas gugatan yang dilayangkan pihaknya. Padahal, dalam pertimbangan hukum putusan, seluruh dalil KLHK yang mencuplik UU Cipta Kerja telah dikesampingkan oleh majelis hakim.
"Dalam beberapa putusan hakim, UU Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi itu telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat telah dikesampingkan. Bukan dalam gugatan ini saja, namun dalam beberapa gugatan lain," kata Surya.
Dua kesempatan emas KLHK untuk melakukan langkah penyelamatan hutan konservasi di Riau tampaknya tidak dimanfaatkan. Ibarat dalam sepakbola, mumpung Piala Dunia Qatar sedang hangat, tendangan dari titik putih kotak penalti urung dieksekusi.
Nah, di tengah tidak adanya sikap jelas dalam penyelamatan hutan konservasi di Riau, lantas kepada siapa lagi kita harus mencari dan menagih tanggung jawab? Jangan sampai pula berubah nama menjadi kementerian perkelapasawitan. (*)
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
Terkuak! 5 Sifat Kucing Berdasarkan Warna Bulunya, Kucing Hitam Ternyata Paling Ramah
RiauAkses.com - Tren memelihara kucing saat ini sedang naik daun. Para cat lovers menjadikan kucingSopir Asal Pekanbaru 6 Kali Cabuli Anak Perempuan 11 Tahun, Ketahuan Terpergok Ibu Korban
RiauAkses.com, Sumsel - Ulah sopir ekspedisi barang asal Riau ini benar-benar bejat. Umurnya sudahInilah Daftar Lengkap Mutasi 13 Hakim di Wilayah Provinsi Riau, KPN Pekanbaru Dahlan Promosi ke PN Medan
RiauAkses.com, Pekanbaru - Mahkamah Agung dalam waktu dekat segera akan melakukan mutasi jajaranKemendagri Ingatkan Bupati Kepulauan Meranti Tak Bergantung Pada DBH Migas, Tapi Mestinya Bisa Optimalkan PAD
RiauAkses.com, Jakarta - Bupati Kepulauan Meranti HM Adil diminta agar tidak sekadar bergantungBKSDA Riau Banding Usai Dihukum PTUN Tebang Sawit & Bongkar PKS di SM Balai Raja, Yayasan Menara: Berarti KLHK Mau Hutan Konservasi Jadi Kebun Sawit!
RiauAkses.com, Pekanbaru - Langkah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau







Komentar Via Facebook :